Membangun Jati Diri Aparatur Negara melalui Internalisasi Nilai-Nilai Agama

Thursday, January 22, 2009

SAMBUTAN

Inspektur Jenderal
Departemen Agama R.I.


Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke Hadirat Allah SWT Tuhan YME, atas lim­pahan rahmat dan karunia-Nya kita dapat menjalankan tugas-tugas keseharian. Sholawat serta salam se­moga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta ke­luarga, para sahabat, dan umatnya yang setia hingga akhir zaman.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menyatakan bahwa korup­si adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang me­ngatur tentang tindak pidana korupsi. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 2, pengertian tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sedangkan Pasal 3 menyatakan bahwa pengertian tindak pidana korupsi adalah setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, me­nyalahgunakan kewenang­an, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keu­ang­an negara atau perekonomian negara. Adapun Pasal 13 menyatakan bahwa setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

Perilaku menyimpang dalam bentuk Korupsi cenderung semakin meningkat dalam berbagai modus dari yang seder­hana hingga yang paling canggih. Di dalam Strategi Pembe­rantasan Korupsi Nasional (SPKN) dinyatakan bahwa penye­bab korup­si terdiri dari empat aspek, yaitu:

1. Aspek perilaku individu/manusia

Aspek perilaku individual yaitu faktor-faktor internal yang men­dorong seseorang melakukan korupsi karena sifat tamak, tidak kuat dalam menghadapi godaan, peng­hasilan yang tidak mencu­kup­i kebutuhan hidup yang wajar, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras serta tidak meng­amalkan ajaran agama secara konsisten.

2. Aspek organisasi

Suatu organisasi dapat menjadi ajang praktik korupsi karena ter­buka peluang atau kesempatan bagi pengurus dan anggota untuk melakukan penyim­pang­an. Praktik pe­nyimpangan tersebut dapat terjadi.

3. Aspek lingkungan

Berkaitan dengan lingkungan masyarakat tempat individu/masya­rakat berada.

4. Aspek peraturan perundang-undangan

Aspek peraturan perundang-undangan yaitu penerbit­an peraturan perundangan bersifat monopotistik yang hanya menguntungkan kerabat kroni penguasa negara. Kelemahan ini menjadi salah satu penyebab penyimpang­an semakin banyak.

Salah satu penyebab mengapa korupsi di Indonesia menjadi sukar diberantas adalah karena baik pemerintah maupun anggota ma­sya­rakat kurang memahami dan mengenali korupsi secara baik akan jenis-jenis korupsi yang sering terjadi dalam masyarakat dan peme­rin­tahan. Sebagai abdi masyarakat, kita harus melakukan kontrol sosial melalui pengawasan dan berperan aktif melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi. Untuk itu, pemahaman akan pengertian korupsi, modus operandi, sanksi dan akibatnya sangat penting untuk dimiliki.

Agama dipandang sebagai kekuatan karena perannya sangat penting bagi pemeluknya. Agama dianggap mampu memberikan tun­tutan dan motivasi, sehingga manusia memiliki kesanggupan dan kesadaran untuk mengenal diri dan eksistensi Tuhan dalam perilaku keseharian. Dengan demikian agama me­miliki daya konstruktif, regu­latif dan reformatif dalam membangun tatanan kehidupan di berbagai dimensi dan aktivitas manusia. Agama memiliki daya tangkal yang efektif terhadap kecenderung­an manusia untuk berperilaku menyim­pang/negatif seperti KKN. Seluruh daya yang dimiliki tersebut menem­patkan agama sebagai bagian penting dalam proses pengawasan. Agama dijadikan salah satu model pendekatan berupa pengawasan melekat, yaitu setiap individu dibangun kesadarannya, digugah nurani dan spiritualnya. Setiap aktivitas yang dilakukan merupakan konse­ku­en­si kontrak sosialnya dan implementasi kontrak metafisisnya dengan Tuhan. Namun permasalahan selanjutnya adalah cara/proses peman­fa­atan agama dan instrumen yang diperlukan untuk melakukan inter­nalisasi pada setiap individu, dalam hal ini aparatur negara khususnya yang bertugas sebagai abdi negara dan pelayan masya­rakat.

Reposisi peran Inspektorat Jenderal Departemen Agama dalam mendu­kung upaya pemberantasan korupsi juga telah berubah, yang dahulu hanya mengandalkan peran ”watch dog”, menjadi lebih luas, dengan menambah peran menjadi konsultan pengawasan dan katalis bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi auditan. Ketiga peran tersebut diharapkan secara efektif mampu me­ningkatkan citra Depar­te­men Agama dan memperbaiki kinerja para auditan.

Selain melaksanakan pengawasan fungsional, dalam rangka per­wu­judan iklim transparansi birokrasi, Inspektorat Jenderal juga melakukan penanganan secara intensif dan serius terhadap surat-surat pengaduan masyarakat yang da­tang melalui Tromol Pos 5000, Non Tromol Pos 5000, bahkan saat ini Ins­pektorat Jenderal telah membuka Kotak Pos 3146 JKT 1600 yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat guna melakukan kritik, saran, dan masukan yang bersifat membangun. Penanganan pengaduan masyarakat tersebut dilaksana­kan de­ngan cara melakukan klarifikasi, konfirmasi, dan investigasi.

No comments:

Post a Comment